Dampak
primer
- Kerusakan fisik - Mampu merusak berbagai jenis struktur, termasuk jembatan, mobil, bangunan, sistem selokan bawah tanah, jalan raya, dan kanal.
Dampak
sekunder
- Persediaan air – Kontaminasi air. Air minum bersih mulai langka.
- Penyakit - Kondisi tidak higienis. Penyebaran penyakit bawaan air.
- Pertanian dan persediaan makanan - Kelangkaan hasil tani disebabkan oleh kegagalan panen.[4] Namun, dataran rendah dekat sungai bergantung kepada endapan sungai akibat banjir demi menambah mineral tanah setempat.
- Pepohonan' - Spesies yang tidak sanggup akan mati karena tidak bisa bernapas.[5]
- Transportasi - Jalur transportasi hancur, sulit mengirimkan bantuan darurat kepada orang-orang yang membutuhkan.
Dampak
tersier/jangka panjang
- Ekonomi - Kesulitan ekonomi karena penurunan jumlah wisatawan, biaya pembangunan kembali, kelangkaan makanan yang mendorong kenaikan harga, dll.
·
Masalah banjir belum juga terselesaikan di Ibu Kota.
Jakarta terendam banjir pada babak awal memasuki tahun 2013. Banjir cukup
merata di seluruh wilayah Jakarta. Sejumlah akses jalan terputus. Air setinggi
20 hingga beberapa meter menggenangi jalanan Ibu Kota. Banjir pun tak
pilih-pilih lokasi, mulai dari perkampungan hingga Kompleks Istana Kepresidenan
kebanjiran.
·
Curah hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir
membuat volume air bertambah. Sungai dan waduk meluap. Tanggul pun jebol karena
tak mampu menahan banyaknya air. Namun, banjir seharusnya tak terjadi hanya
karena intensitas hujan yang tinggi itu. Mengapa banjir terus terjadi dan makin
meluas di Ibu Kota?
·
Pengamat tata kota, Nirwono Joga, mengatakan, sejumlah
faktor turut menyebabkan banjir Jakarta 2013. Secara umum, telah terjadi
perubahan besar pada tata ruang di Jakarta dan kota sekitarnya, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi.
·
Faktor pertama, berubahnya ruang terbuka hijau di
Jakarta menjadi kawasan pembangunan, seperti permukiman, gedung, dan jalan.
Resapan air hujan menjadi berkurang dan akhirnya air mengalir ke jalanan.
·
"Sebagian besar banjir yang terjadi di Jakarta
ini terjadi di daerah-daerah tanggapan air, resapan air, yang dulu sejak zaman
Belanda memang diperuntukkan untuk ruang hijau," ujarnya di Jakarta,
Selasa (22/1/2013).
·
Joga mengatakan, pemerintah harus tegas membatasi
pembangunan komersial di Jakarta. Pendirian bangunan pun harus dicek kembali
apakah telah menyediakan sebanyak 30 persen sumber resapan sesuai ketentuan
undang-undang.
·
Kedua, sistem drainase yang buruk di Jakarta. Menurut
Joga, seharusnya saluran air berujung ke sungai atau laut, melainkan ke daerah
resapan atau ke dalam tanah. Pemerintah harus melakukan revitalisasi terhadap
sistem drainase di seluruh Jakarta dan jalan-jalan protokol seperti Sarinah,
Thamrin, Sudirman, dan lainnya. Pemerintah juga perlu membuat sistem drainase eco-drainase
yang mengalirkan air ke sumber resapan.
·
Ketiga, tidak optimalnya fungsi waduk maupun situ.
Dalam catatannya, pada tahun 1990-an, Jakarta memiliki 70 waduk dan 50 situ.
Namun, kini hanya tersisa 42 waduk dan 16 situ. Sebanyak 50 persen di antaranya
pun tidak berjalan optimal. Waduk-waduk di Jakarta dipenuhi tumbuhan enceng
gondok, limbah, dan sampah. Pendangkalan pun terjadi akibat sedimentasi lumpur.
Waduk yang akhirnya mengering kemudian dijadikan daerah hunian.
·
"Untuk meningkatkan kapasitas optimalisasi, tentu
perlu dilakukan revitalisasi pengerukan dan penataan. Kalau optimal, waduk bisa
menjadi cadangan air bersih," terangnya.
·
Keempat, belum dilakukannya normalisasi di semua
sungai. Menurut pengamat dari Universitas Trisakti ini, pemerintah harus
melakukan normalisasi kali sekaligus merelokasi permukiman di bantaran sungai
ke tempat yang layak huni.
·
"Kita harapkan 5 tahun ke depan sungai sudah
selesai dinormalisasi yang lebarnya saat ini 20-30 meter menjadi 100
meter," ujarnya.
·
Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan,
pasang air laut dalam beberapa hari ke depan diprediksi tinggi. Pada Senin
(21/1/2013), pasang akan memuncak hingga ketinggian 0,95 meter. Pada Sabtu
(26/1/2013), pasang bisa mencapai 1 meter. Sementara pada Minggu depan, pasang
bisa mencapai 0,95 meter.
·
Untuk diketahui, pada 2007, curah hujan yang mengguyur
Jakarta mencapai 320 milimeter. Curah hujan di Jakarta belakangan ini sekitar
95 milimeter dan di wilayah hulu (Puncak, Bogor) sekitar 75 milimeter.
Intensitas hujan di Jakarta saat ini sedang menurun. Namun, pada akhir Januari
atau awal Februari, diprediksi curah hujan menjadi dua kali lipat.
·
Untuk itu, solusi masalah banjir Jakarta, tambah Joga,
tidak hanya dengan melakukan rekayasa teknis seperti membuat sodetan dan
gorong-gorong raksasa. Rekayasa sosial atau mengubah pola pikir masyarakat,
menurutnya, lebih penting dilakukan. Pemerintah dan masyarakat harus sadar
pentingnya ruang terbuka hijau, mengerti bahwa bantaran sungai bukanlah
lokasi hunian. Sadar dengan tidak membuang sampah sembarangan. Rekayasa teknis
tidak akan menyelesaikan masalah banjir tanpa adanya kesadaran masyarakat itu
sendiri.
·
-Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika mengumumkan, hujan lebat dan sangat lebat berpotensi
berlanjut hari ini, Jumat 18 Januari 2013 hingga lusa. Sama seperti yang sudah
terjadi sejak awal bulan ini, hujan merata se Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang.
·
Kepala Sub Bidang Informasi Meteorologi BMKG Hary
Tirto pernah menjelaskan kalau level tanah di Jakarta sebenarnya sudah jenuh
oleh hujan lebat 2-3 jam yang rajin
datang sejak awal bulan. "Kalau tanah sudah jenuh, hujan berapa
jam pun akan menimbulkan genangan," katanya Selasa lalu.
·
Tanah yang sudah jenuh itu masih harus 'menanggung'
air dari luapan sungai di banyak tempat. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, kemampuan Kali Ciliwung hilir, Angke, Pesanggrahan dan
Krukut bahkan hanya mampu mengalirkan kurang dari 30% banjir yang ada. »Tidak
heran jika selalu banjir,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB,
Sutopo Purwo Nugroho.
·
Fungsi sungai mandul karena penyempitan dan
pendangkalan itu diperparah dengan kondisi di hulu yang juga sudah rusak. Air
hujan yang jatuh di sana tak banyak lagi yang bisa terserap ke dalam tanah.
Mereka banyak tergelontor ke dalam sungai-sungai yang bermuara ke ibu kota.
·
Profil aktual dari kawasan Puncak, Bogor, ini diungkap
Pusat Pengkajian Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor yang menyebutkan bahwa
laju pembangunan yang tak terkendali menyebabkan hilangnya fungsi resapan air
di kawasan Puncak. »Kehilangan fungsi resapan hingga 50 persen dibandingkan
kondisi 15 tahun lalu,” kata Kepala Pusat Studi Bencana IPB, Profesor Euis
Sunarti.
·
Koordinator Komunitas Peduli Ciliwung, Een Irawan, juga
menyatakan kalau kondisi Daerah Aliran Sungai Ciliwung semakin parah dari tahun
ke tahun. Gejalanya, menurut dia, dapat dilihat secara kasat mata yakni ketika
debit meninggi dan sungai meluap: airnya coklat gelap.
·
Itu, kata Een, pertanda material tanah ikut terbawa aliran.
"Ketika turun hujan di Puncak, debit Ciliwung pasti naik sehingga
menyebabkan banjir di Jakarta."
·
Di luar tiga faktor penyebab itu, banjir di sebagian
wilayah di Jakarta juga dituding disebabkan oleh penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah yang
berlebihan. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Ery Basworo menyatakan ini
ketika menjelaskan mengapa ruas Jalan Daan Mogot dan sebagian titik di Jakarta
Barat bisa ikut terendam.
·
Penurunan tanah yang mencapai 10 sentimeter per tahun
jelas mampu menciptakan cekungan. »Ini banyak di Jakarta Barat dan Jakarta
Utara,” katanya.
·
Faktor penyebab banjir besar di Jakarta ini bisa
bertambah jika memperhitungkan laut yang juga mulai pasang pertengahan bulan
ini. Atau, ruang terbuka hijau
di Jakarta yang selama ini mendapat kritik karena tak sampai memenuhi syarat
minimal, yakni 30 persen dari luas wilayah. Taman-taman dan daerah resapan air
di Jakarta sejauh ini hanya menghimpun tak sampai 10 persen luas ibu
kota.
"Hi!..
BalasHapusGreetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Ejurnalism